19.4.13

Untuk yang kesekian kalinya, saya menonton ulang Harry Potter and the Chamber of Secrets (2002). Saya tak ingat kapan terakhir kali menontonnya sebelum ini, karena sudah sangat lama, entah sudah berapa tahun yang lalu. Meski dulu saya sudah berkali-kali menontonnya, hari ini saya masih sangat menikmati film yang disutradarai oleh Chris Colombus tersebut. 

Rasanya seperti bernostalgia dengan masa kecil saya ketika melihat Harry, Ron, dan Hermione masih imut-imut di film tersebut. Sungguh sulit untuk percaya bahwa mereka dulu pernah seimut itu; tentu saja karena mereka sekarang sudah dewasa dan sama sekali tak ada imut-imutnya. Wajah imut mereka begitu familiar, seakan-akan sudah seperti wajah teman-teman lama saya sendiri. Dan hari ini, saat melihat wajah mereka lagi, ada rasa haru yang tak dapat dijelaskan, seperti ketika kita bertemu dengan teman-teman di masa kecil kita yang sudah lama menghilang. Dan di sinilah seolah-olah saya bernostalgia dengan diri saya sendiri di masa kecil, yang sangat akrab dengan mereka bertiga (bahkan menganggap mereka sebagai bagian dari hidup saya).
14.4.13


Harun Al Rosyid

Hard to stay awake without thinking of you
Addicted to your presence, I guess
Ridiculously I ask Google where to find you
Undoubted answer is on Facebook, Google says
No time to waste, directly I go to Facebook homepage 

And there you are

Lovely profile picture of yours, makes me smile with tears

Realizing how much this longing is deepening
Our days together are treasured in my mind
So colourful with joy and sadness
You love me, don't you?
I do, you say
Don't ever think to leave me, I reply


11.4.13
Sekilas, dompet-dompet ini terlihat seperti benda biasa yang dapat ditemukan di toko aksesoris atau di mall. Terlebih lagi bagi mereka yang tak tertarik, dompet-dompet ini hanya akan terlihat seperti benda biasa yang entah fungsinya apa dan dapat ditemukan di mana saja. Namun seandainya dompet-dompet ini mampu bercerita, pastilah tak ada lagi yang akan menganggap dompet-dompet ini sebagai benda biasa.

Dompet-dompet dalam gambar di atas terbuat dari bahan 100% katun, memiliki warna yang beragam dan terlihat unik dengan sebuah bordiran bunga. Tunggu, tunggu, jangan Anda kira saya mengulas dompet-dompet ini karena saya ingin mempromosikan lalu menjualnya kepada Anda. Saya (dari palung hati yang terdalam) hanya ingin mengungkap kisah yang tersembunyi di balik dompet yang dibuat dengan tangan ini.

Dompet-dompet yang indah ini merupakan kerajinan tangan para perempuan di sebuah penampungan di Pakistan. Hasil dari penjualan dompet-dompet tersebut akan digunakan untuk membuat lapangan kerja tambahan  bagi perempuan-perempuan lain di penampungan itu. Tapi tahukan Anda, dari mana perempuan-perempuan di penampungan itu berasal? Dan mengapa mereka ada di penampungan?


Meskipun tidak berhubungan secara langsung dengan artikel saya sebelumnya tentang novel A Thousand Splendid Suns dan maknanya dalam hidup saya, artikel ini masih merupakan efek samping yang saya dapatkan setelah membaca novel tersebut beberapa tahun yang lalu. Ketika saya membaca apa yang ditulis Khaled Hosseini (penulis novel A Thousand Splendid Suns) di halaman Facebook The Khaled Hosseini Foundation, hati saya kembali terenyuh:
The majority of women in Afghan prisons have commited what the courts deemed as "moral crimes". These include refusing arranged marriage, running away from home or abusive marriage, marrying without family consent or attempted adultery. The recent documentary, "Prisoners of Tradition: Women in Afghanistan" brings the focus back on these women, these victim of an unjust system. 
http://www.youtube.com/watch?v=W0Q9n4gmJrY&list=PLDurT10mnRdBV2GJKTpwktutqDh9BX9C-
Kurang lebih seperti ini terjemahannya, "Sebagian besar tahanan perempuan di Afghanistan melakukan tindak pidana yang disebut "kejahatan moral" oleh pengadilan. Yaitu termasuk menolak perjodohan, melarikan diri dari rumah atau pernikahan yang penuh dengan kekerasan, menikah tanpa persetujuan keluarga atau mencoba melakukan perzinahan. Sebuah film dokumenter berjudul "Tahanan Tradisi: Perempuan di Afghanistan" kembali menyoroti tentang mereka, korban dari sebuah sistem yang berat sebelah."
2.4.13
Pendahuluan


Dosen pembimbing saya dulu pernah membuat sebuah kajian tentang hubungan antara puisi Kabul dan novel A Thousand Splendid Suns menggunakan teori interteks yang tertuang dalam jurnal Diglossia. Kali ini saya membuat kajian tentang novel A Thousand Splendid Suns dan efeknya dalam kehidupan saya. Kajian ini berbeda dengan kajian dosen pembimbing saya, karena kajian ini tidak menggunakan teori apapun, melainkan hanya sebuah bentuk lain dari curhatan pribadi (hahaha... :D).

Tentang Puisi Kabul

Kabul
Ah! How beautiful is Kabul encircled by her arid mountains
And Rose, of the trails of thorns she envies
Her gusts of powdered soil, slightly sting my eyes
But I love her, for knowing and loving are born of this same dust

My song exhalts her dazzling tulips
And at the beauty of her trees, I blush
How sparkling the water flows from Pul-I-Mastaan!
May Allah protect such beauty from the evil eye of man!

Khizr chose the path to Kabul in order to reach Paradise
For her mountains brought him close to the delights of heaven
From the fort with sprawling walls, A Dragon of protection
Each stone is there more precious than the treasure of Shayagan
Every street of Kabul is enthralling to the eye
Through the bazaars, caravans of Egypt pass
One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls

Her laughter of mornings has the gaiety of flowersHer nights of darkness, the reflections of lustrous hair
Her melodious nightingales, with passion sing their songs

Ardent tunes, as leaves enflamed, cascading from their throats
And I, I sing in the gardens of Jahanara, of Sharbara
And even the trumpets of heaven envy their green pastures
Puisi tersebut merupakan karya Muhammad Ali Saib at Tabrizi, seorang penyair Iran yang hidup di abad 17 dan ditulis dalam bahasa Persia, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Josephine Davis dan ke dalam bahasa Indonesia oleh Berliani Nugrahani. Dalam puisi yang berjudul "Kabul" tersebut Saib at Tabrizi menggambarkan keindahan Kabul kala itu yang telah membuat ia jatuh cinta. Terus terang, ketika membaca puisi ini, hati saya pun bergetar, walaupun mungkin tidak sehebat getaran yang dirasakan Saib at Tabrizi ketika menulis puisi ini.

Tentang  A Thousand Splendid Suns 

Pada tahun 2007, sebuah novel yang ditulis oleh Khaled Hosseini, seorang penulis berkebangsaan Afghanistan yang telah lama menetap di Amerika Serikat, dirilis. Dalam novel tersebut terdapat cuplikan puisi karya Saib at Tabrizi, yang juga menjadi judul novel tersebut,
One could not count the moons that shimmer on her roofsAnd the thousand splendid suns that hide behind her walls (Siapapun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar diatas atap,ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding).
Novel yang berjudul "A Thousand Splendid Suns" tersebut mengisahkan tentang perjalanan hidup dua perempuan Afghanistan di tengah hiruk pikuknya pemerintahan dan konflik yang berkecamuk di Afghanistan antara tahun 1960 hingga 2002.

penampakan novel A Thousand Splendid Suns

Sinopsis 

Novel ini berlatar belakang kehidupan Afghanistan selama masa-masa perang (1960-an sampai 2000-an). pada awal cerita ini, tokoh utamanya adalah seorang wanita bernama Mariam tetapi kemudian di pertengahan cerita, ada tokoh lain bernama Laila yang juga menjadi bagian dari tokoh utama.

Mariam adalah seorang gadis kecil yang merupakan harami (anak haram) dari seorang saudagar kaya bernama Jalil. Ibu Mariam sendiri dulunya adalah mantan pelayan di rumah Jalil. Tetapi karena masyarakat tidak mengakui adanya anak haram di dalam sebuah keluarga maka Mariam dan ibunya harus menyingkir dan memiliki kehidupan sendiri.


Jalil sering menjenguknya dan membawakannya hadiah-hadiah kecil. Jalil selalu menceritakan tentang keindahan kota Herat yang tidak pernah diinjak oleh Mariam, tentang gedung bioskop yang dimilikinya sampai bagaimana lezatnya sebuah es krim. Mariam begitu memuja Jalil sementara ibunya begitu membencinya. Mariam selalu berpikir bahwa Jalil menyayanginya. Sedangkan menurut ibunya, tak ada yang mau menyayanginya karena dia seorang harami. Hingga suatu hari Mariam minta dibawa oleh Jalil ke Herat untuk menjawab segala keingintahuannya tentang cerita-ceritanya, namun Jalil tidak mengijinkan. Tentu saja Jalil akan malu karena secara sosial, Mariam bukan anak yang diinginkan. Terlebih lagi Jalil sudah memiliki 3 orang istri sah.

Hingga pada suatu hari Mariam nekad untuk menemui Jalil walaupun tidak mendapat izin dari ibunya. Ternyata benar, Jalil memang tidak menginginkannyanya. Dia sangat menyesali keinginannya untuk datang ke Herat menemui Jalil. Terlebih lagi, kenekatan Mariam untuk menemui Jalil harus dibayar mahal. Sepulangnya dari sana, Mariam menemui ibunya tewas gantung diri.

Selepas kematian ibunya, Jalil membawa Mariam ke rumah mewahnya. Jalil dan istri-istrinya menjodohkan Mariam dengan seorang saudagar berumur 45 Tahun bernama Rasheed. Sementara saat itu umur Mariam masih 15 Tahun. Tanpa pilihan, dia akhirnya dipersunting oleh Rasheed dan dibawa ke Kabul. Disana, kehidupan pernikahan Mariam seperti neraka. Mariam harus menanggung siksaan dan perihnya luka fisik maupun luka batin yang disayatkan sang suami. Namun, ditengah-tengah penderitannya itu, hadirlah secercah mentari surga lewat sesosok gadis remaja bernama Laila yang kelak akan mengubah kehidupan Mariam.

Pengaruh Novel A Thousand Splendid Suns dalam Kehidupan Saya

Pertama kali saya menemukan novel itu di Language Access Centre di kampus saya, saya tidak pernah mengira bahwa novel tersebut akan mempengaruhi kehidupan saya. Awalnya hanya saya baca dan saya nikmati alur ceritanya, namun lambat laun pikiran saya mulai dipenuhi oleh bayangan-bayangan menyedihkan tentang bagaimana kerasnya kehidupan dua tokoh utama dalam novel tersebut. Karena bagaimanapun juga, saya pernah mendapat kuliah Theory of Literature, di mana saya mempelajari teori tentang bagaimana sebuah karya sastra memiliki hubungan dengan penulisnya maupun dengan keadaan sosial masyarakat di mana karya sastra tersebut di tulis. Jadi, sangat sulit bagi saya untuk sekedar membaca dan mengabaikan begitu saja bagian-bagian menyedihkan yang dialami oleh tokoh utama dalam novel tersebut.

Hati saya berbisik bahwa novel ini bukan sekedar fiksi, tetapi novel ini memiliki hubungan dengan keadaan sosial masyarakat di Afghanistan. Lalu mulailah saya browsing tentang Afghanistan untuk memenuhi rasa penasaran saya, lebih spesifik lagi tentang peran perempuan di negeri yang terletak di kawasan timur tengah tersebut. Terasa begitu miris ketika saya mengetahui bahwa kisah hidup dua tokoh utama tersebut tidaklah jauh-jauh dari kenyataan yang ada di Afghanistan, terlebih lagi di masa pemerintahan Taliban. Dari sudut pandang saya (yang menjunjung tinggi persamaan hak asasi antara perempuan dan laki-laki) saya tidak setuju jika perempuan kehilangan hak untuk bersekolah dan mendapatkan pelayanan yang layak dalam dunia kesehatan, seperti yang terjadi pada Laila, dan lebih tidak setuju lagi jika perempuan dianiaya secara mental dan fisik oleh suaminya sendiri, seperti yang dialami oleh Mariam.

Dari sinilah saya mulai terpanggil untuk memberikan novel tersebut arti dalam hidup saya dengan mengangkatnya dalam skripsi saya. Bermodalkan keyakinan, saya mencari-cari teori yang nampak cocok untuk mengkaji novel tersebut. Dari sekian teori yang cocok dengan novel tersebut, saya memilih feminisme (lebih spesifiknya adalah power feminism) sebagai acuan kajian saya karena lebih sesuai dengan sudut pandang saya.

penampakan orang yang berjasa membantu saya
Menemukan buku tentang power feminism bukanlah hal yang mudahSaya sudah memastikan bahwa tidak ada buku tentang salah satu cabang feminisme tersebut di Language Access Centre di kampus saya sebelum akhirnya saya mencari buku tersebut di toko-toko buku online (saya tidak mencari ke kampus-kampus lain, karena malas). Setelah browsing-browisng, akhirnya saya menemukan buku yang saya yakin sesuai dengan kebutuhan saya itu di sebuah toko buku online di Amerika Serikat. Karena toko bukunya berada di benua lain yang letaknya jauh dari Indonesia, banyak yang saya pertimbangkan sebelum membelinya, diantaranya adalah harga buku, keadaan buku, dan waktu yang dibutuhkan untuk shipping.
penampakan buku bekas yang saya beli dari AS

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya membeli dua buku yang berjudul Fire with Fire karya Naomi Wolf dan Oppression, Privilege, & Resistance oleh Lisa Heldke Peg O'Connor, yang keduanya adalah buku bekas (harga lebih murah dan keadaan masih bagus). Kesulitan tidak selesai di sini, karena pembelian secara online seperti ini membutuhkan alat pembayaran berupa Paypal yang saya tidak punya, kemudian kesulitan berlanjut pada shipping barangnya, mengingat toko buku tersebut tidak menjual barang ke Indonesia, jadi ada kerumitan lagi yang harus saya hadapi di sini. Dan sangat bersyukur, ada orang yang sangat berjasa dalam membantu saya mendapatkan buku ini pada akhirnya, meski waktunya cukup lama, hampir sekitar dua bulan. 

Setelah kedua buku tersebut ada di tangan saya, begitu juga dengan novel A Thousand Splendid Suns, mulailah saya membuktikan bahwa apa yang terkandung dalam novel tersebut sesuai dengan teori tentang penindasan seperti yang tercantum dalam buku Oppression, Privilege, & Resistance dan teori tentang kekuatan perempuan seperti yang dijelaskan dalam buku Fire with Fire. Dalam hati saya bersyukur karena Khaled Hosseini membuat ending yang begitu indah, yaitu ketika Mariam mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Laila dengan membunuh Rasheed. Meskipun harus dipenggal sebagai hukuman, Mariam tetap berdiri tegar dan tak menyesali perbuatannya semata-mata karena cintanya pada Laila yang telah membuat hidupnya bermakna. Apa yang dilakukan Mariam tersebut sangat sesuai dengan teori power feminism dan sudut pandang saya, karena pada dasarnya perempuan memiliki kekuatan untuk menentukan sendiri nasibnya.


Lalu timbulah sebuah pemahaman mengapa Khaled Hosseini memberi judul novel tersebut A Thousand Splendid Suns dan mengutip dua baris ini dalam novelnya,
  One could not count the moons that shimmer on her roofs
  And the thousand splendid suns that hide behind her walls
penampakan saya
Mungkin baris itu sebenarnya menjelaskan tentang masyarakat di Kabul kala itu, "moons" (bulan-bulan) mewakili para laki-laki yang kehadirannya menambah keindahan Kabul, sementara "a thousand splendid suns" (seribu matahari surga) merupakan metafora dari perempuan-perempuan di Kabul, yang bersembunyi di balik dinding rumah mereka, namun meskipun begitu mereka tetap memberikan kehangatan.

Kesimpulan


Dan akhirnya, kesimpulan akhir saya adalah, perempuan itu indah karena memberikan kehangatan dengan kasih sayang mereka, namun jangan meremehkan kekuatan mereka, karena mereka juga mampu menggunakan kekuatan itu untuk menentukan nasib mereka sendiri, kekuatan apa itu? Cinta.

1.4.13

Out of sight, out of mind. Tak kenal maka tak sayang, pepatah itulah yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya terhadap lagu-lagu dari sebuah negeri yang mendapat julukan Negeri Ginseng. Bagi saya, mendengarkan lagu berbahasa asing itu bukanlah hal yang menyenangkan jika sama sekali tak mengenal bahasanya, apalagi sepatah kata pun tidak. Hal tersebutlah yang membuat saya tidak ikut terseret "Korean Wave", karena simpel saja, saya tidak mengenal bahasa Korea. Berbeda dengan lagu-lagu berbahasa Inggris dan Jepang (banyak yang saya suka), lagu-lagu berbahasa Korea terdengar lebih seperti orang menggumam tidak jelas, (sekali lagi, itu karena saya tidak mengenal sepatah kata pun dari bahasa Korea) sedangkan lagu berbahsa Inggris dan Jepang, masih ada kata-kata yang dapat saya tangkap dan sedikit banyak paham artinya. 

Namun belakangan ini saya jatuh cinta pada sebuah lagu yang notabenenya lagu Korea. Sebenarnya saya tidak tahu versi aslinya, karena saya mengenal lagu itu ketika dibawakan secara instrumental dalam sebuah video di youtube.com, oleh seorang violinis berdarah Korea yang telah lama menetap di Amerika Serikat. Lagu yang indah itu merupakan sebuah original soundtrack  dari sebuah serial drama berjudul "The Moon That Embraces the Sun".

Entah seperti apa versi asli dari lagu itu, namun saya menangkap sebuah ke-mellow-an dalam lagu tersebut yang ironisnya, terdengar indah dan membuat saya jatuh cinta. Saya dengarkan berulang-ulang, dan tetap saja terdengar indah. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, "apakah saya akan jatuh cinta pada lagu ini jika saya mendengarkan versi aslinya yang tentu saja akan berbahasa Korea?". Pertanyaan yang masih menjadi misteri hingga note ini selesai saya tulis.