11.4.13
Sekilas, dompet-dompet ini terlihat seperti benda biasa yang dapat ditemukan di toko aksesoris atau di mall. Terlebih lagi bagi mereka yang tak tertarik, dompet-dompet ini hanya akan terlihat seperti benda biasa yang entah fungsinya apa dan dapat ditemukan di mana saja. Namun seandainya dompet-dompet ini mampu bercerita, pastilah tak ada lagi yang akan menganggap dompet-dompet ini sebagai benda biasa.

Dompet-dompet dalam gambar di atas terbuat dari bahan 100% katun, memiliki warna yang beragam dan terlihat unik dengan sebuah bordiran bunga. Tunggu, tunggu, jangan Anda kira saya mengulas dompet-dompet ini karena saya ingin mempromosikan lalu menjualnya kepada Anda. Saya (dari palung hati yang terdalam) hanya ingin mengungkap kisah yang tersembunyi di balik dompet yang dibuat dengan tangan ini.

Dompet-dompet yang indah ini merupakan kerajinan tangan para perempuan di sebuah penampungan di Pakistan. Hasil dari penjualan dompet-dompet tersebut akan digunakan untuk membuat lapangan kerja tambahan  bagi perempuan-perempuan lain di penampungan itu. Tapi tahukan Anda, dari mana perempuan-perempuan di penampungan itu berasal? Dan mengapa mereka ada di penampungan?


Meskipun tidak berhubungan secara langsung dengan artikel saya sebelumnya tentang novel A Thousand Splendid Suns dan maknanya dalam hidup saya, artikel ini masih merupakan efek samping yang saya dapatkan setelah membaca novel tersebut beberapa tahun yang lalu. Ketika saya membaca apa yang ditulis Khaled Hosseini (penulis novel A Thousand Splendid Suns) di halaman Facebook The Khaled Hosseini Foundation, hati saya kembali terenyuh:
The majority of women in Afghan prisons have commited what the courts deemed as "moral crimes". These include refusing arranged marriage, running away from home or abusive marriage, marrying without family consent or attempted adultery. The recent documentary, "Prisoners of Tradition: Women in Afghanistan" brings the focus back on these women, these victim of an unjust system. 
http://www.youtube.com/watch?v=W0Q9n4gmJrY&list=PLDurT10mnRdBV2GJKTpwktutqDh9BX9C-
Kurang lebih seperti ini terjemahannya, "Sebagian besar tahanan perempuan di Afghanistan melakukan tindak pidana yang disebut "kejahatan moral" oleh pengadilan. Yaitu termasuk menolak perjodohan, melarikan diri dari rumah atau pernikahan yang penuh dengan kekerasan, menikah tanpa persetujuan keluarga atau mencoba melakukan perzinahan. Sebuah film dokumenter berjudul "Tahanan Tradisi: Perempuan di Afghanistan" kembali menyoroti tentang mereka, korban dari sebuah sistem yang berat sebelah."


Khaled Hosseini
Sebagai perempuan Indonesia yang memiliki hak penuh untuk mendapatkan pendidikan formal, bekerja, dan menikah dengan orang yang saya cintai, saya begitu miris melihat apa yang terjadi pada perempuan-perempuan di Afghanistan. Mereka tidak hanya kehilangan hak untuk bersekolah, namun kebanyakan dari mereka juga dijodohkan oleh ayah mereka sebelum usia mereka mencapai 16 tahun. Di usia yang masih teramat muda, mereka akan dipaksa menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua daripada mereka (om-om), dan kadang sudah memiliki istri (seumur-umur saya tidak akan mau membayangkan untuk menikah dengan  om-om, terlalu mengerikan untuk dibayangkan, apalagi untuk menjadi nyata). Terlenbih lagi ketika mereka harus menghadapi suami yang sering menggunakan kekerasan dalam kehidupan rumah tangga mereka (seperti yang dialami Mariam dalam novel A Thousand Splendid Suns).

Mungkin jika saya menjadi salah satu dari mereka dan dijodohkan dengan om-om, saya akan memukul si om-om tersebut hingga pingsan agar saya dipenjara, daripada harus melayani orang yang tidak saya cintai, hahaha... :D (power feminism inside).

tenda-tenda di pengungsian
Sekitar 3 juta penduduk Afghanistan berada di pengungsian yang terletak di Pakistan. Mereka merupakan pengungsi yang meninggalkan Afghanistan semasa perang masih menghantui Afghanistan. Tentu saja bukan kehidupan yang indah untuk berada di pengungsian, karena mereka harus hidup di tenda-tenda yang tak mampu menghindarkan mereka dari dingin ketika musim dingin tiba, mereka juga memiliki tingkat ekonomi yang sangat rendah, begitu pula dengan akses pendidikan untuk anak-anak yang juga sangat rendah. 

Semasa Taliban memerintah Afghanistan, perempuan adalah pihak yang sangat dirugikan. Karena Taliban melarang perempuan bersekolah, keluar rumah dan juga bekerja. Akibatnya, sebagian besar perempuan Afghanistan buta huruf, dan mereka harus berdiam diri di rumah. Yang terburuk adalah ketika mereka telah kehilangan suami, atau anggota keluarga yang dapat menopang hidup mereka (ayah, saudara laki-laki), mereka tidak akan mampu melakukan apa-apa untuk menopang kehidupan mereka sendiri dan anak-anak mereka. Tentu saja karena mereka tidak mendapat hak untuk bersekolah dan bekerja. 

Meski di awal tahun 2000 pemerintahan Taliban berhasil digulingkan, tradisi yang mengekang perempuan tidaklah ikut hancur. Perempuan masih banyak yang buta huruf, perempuan masih harus mengalami perjodohan di usia remaja mereka, perempuan juga masih akan menemui suami-suami yang sewenan-wenang, dan perempuan juga akan tetap dimasukkan penjara jika mereka berusaha melarikan diri dari suami mereka yang sewenang-wenang.

Kembali pada gambar dompet di atas. Dompet-dompet di atas merupakan hasil kerajinan tangan perempuan-perempuan Afghanistan yang berada di pengungsian. Di tempat yang penuh penderitaan dan tekanan tersebut, mereka masih berusaha bertahan hidup. Mereka tidak menyerah begitu saja pada nasib. Mereka berharap dapat menjual dompet-dompet karya mereka, dan memiliki penghasilan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka dan keluarga mereka.

Kerajinan-kerajinan tangan mereka dipasarkan oleh organisasi-organisasi non pemerintah, seperti Zardosi dan Dacaar. Sebenarnya hasil kerajinan tangan mereka tidak hanya dompet, mereka juga membuat gelang-gelang unik untuk laki-laki dan perempuan, pembatas buku cantik dengan bordiran layang-layang, pin layang-layang, kalung dan anting manik-manik.
pembatas buku

gelang

gelang untuk laki-laki

dompet hape

gelang

dompat bunga

pin layang-layang

kalung dan anting manik-manik
Melihat karya-karya yang begitu unik dan penuh makna, hati saya bergetar. Mendadak saya ingin memiliki sejuamlah besar uang dollar (kira-kira $10,000) untuk memborong karya-karya tersebut lalu menghadiahkannya pada orang-orang yang saya sayangi. Tentu akan menjadi hadiah yang istimewa untuk keluarga dan sahabat saya, mengingat benda-benda unik tersebut merupakan bukti perjuangan perempuan-perempuan Afghanistan di pengungsian. Namun apa daya, saya belum memiliki tabungan sebanyak itu. Hwaaaa.... :'O
Semoga nanti ketika saya telah memiliki uang yang banyak, saya tidak akan lupa untuk membeli karya-karya istimewa tersebut :)

Meskipun perempuan Afghanistan hidup dalam kekangan, tekanan, dan penderitaan, mereka tetaplah "seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding". Mereka masih memancarkan kehangatan walau hanya dari balik dinding rumah mereka. 


Tambahan: Jika Anda berniat membantu mereka dengan membeli salah satu karya di atas, silakan kunjungi halaman resmi The Khaled Hosseini Foundation


2 comments:

Lautan Kata said...

itulah perang.
bahkan ada seorang blogger remaja di sana yg jadi korban karena memperjuangkan hak kaum wanita. kalo gak salah namanya malala

Unknown said...

Tak ada yg menginginkan peperangan, semua menginginkan kedamaian.
Malala memang salah satu dari The Thousand Splendid Suns, dan syukurlah dy masih dapat diselamatkan meski ditembak di kepalanya oleh Taliban. Dy ditembak karena memperjuangkan haknya untuk bersekolah, namun sekarang malala sudah aman dan mInggris.endapatkan perlindungan hukum di Inggris.
Tak habis pikir aja, anggota Taliban ituw sebenernya makannya apa ya? Kok bisa ekstrim banged seperti ituw -_-'